Minggu, 03 April 2011

>Kamis, 12 April 2001
   Konflik Antar-etnis Kalimantan
   * Mencegah Lebih Baik daripada Menindak
   Kompas/danu kusworo
   [BUTTON]
   "Kami masyarakat adat, berjalan ke masa depan dalam jejak langkah
   leluhur kami, yang dihubungkan oleh daur kehidupan dengan tanah dan
   lingkungan kami" (Deklarasi Karo Oca, Piagam Bumi oleh Masyarakat Adat
   Sedunia, Brasilia, 25-30 Mei 1992).
   
   DEKLARASI itu mengingatkan kita di saat mencoba memahami kasus konflik
   antar-etnis di Kalimantan, khususnya kasus Sampit yang hingga hari ini
   masih berlanjut di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Konflik laten
   antar-etnis Dayak dan Madura menjadi konflik terbuka sejak kerusuhan
   Sampit tanggal 17 Februari 2001, yang memilukan kita dengan jatuhnya
   banyak korban manusia dan harta benda.
   
   Sekarang ini, di tengah ancaman kerusuhan meledak di Pangkalan Bun,
   pesan deklarasi menjadi aktual, mengingatkan rumusan klasik tentang
   perlunya penghargaan realitas kearifan masyarakat lokal.
   
   Pertemuan dengan sejumlah tokoh masyarakat di Palangkaraya,
   Banjarmasin, dan Pontianak-24 Maret-1 April 2001, termasuk dengan
   aktivis Institut Dayakologi (Pontianak) dan Lembaga Musyawarah
   Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah (Palangkaraya) menambah
   keyakinan kita bahwa tidak ada masyarakat apa pun yang steril terhadap
   ciri-ciri negatif. Suku Dayak maupun Madura sama-sama memiliki
   kelebihan dan kekurangan. Masing-masing memiliki kearifan sekaligus
   sifat-sifat negatif.
   
   Akan tetapi, dalam suasana "berada di ujung jurang" dan siap perang
   (meminjam istilah sejumlah tokoh Dayak), pembelaan diri berarti
   penonjolan ciri-ciri negatif etnis lain. Dalam kaitan kasus Sampit,
   stereotip etnis Madura pun diungkit kembali, dibesar-besarkan oleh
   pengamat sosial maupun birokrasi pemerintah.
   
   Dalam pertemuan tokoh-tokoh Dayak di Palangkaraya, 24 Maret, misalnya,
   tertangkap "kemarahan besar" masyarakat Dayak terhadap etnis Madura.
   Mereka yang fanatik mengatakan, Madura tak boleh tinggal di Kalimantan
   selamanya. Yang moderat mengatakan, saat ini orang Madura jangan masuk
   dulu ke Kalimantan Tengah sampai ada kesepakatan bersama, misalnya
   lewat sebuah Kongres Kalimantan.
   
   Kemarahan itu terlihat dari beberapa peristiwa kecil. "Saat ini kalau
   ada orang Madura terlihat di Palangkaraya, pasti kami buru ibarat
   kucing," kata seorang pemuda. Baru satu dua hari tinggal di
   Palangkaraya, pernyataan itu benar. Hari Rabu (28/3), setelah
   ditemukan mayat tanpa kepala di pinggiran Kota Palangkaraya dengan
   darah masih segar, merangsang sekitar 50 orang "turun perang". Mereka
   yakin masih ada orang Madura. Untunglah tidak sampai tiga kilometer
   masuk hutan, para "pemburu" itu bisa dibujuk balik oleh polisi,
   walaupun mereka sempat menemukan bungkus supermi yang masih baru.
   
   Dalam suasana demikian, ajaran-ajaran agama tak berlaku. Digambarkan
   oleh beberapa rohaniwan dan ulama di sana-mulai dari uskup, pastor,
   pendeta, dan ulama-apa yang terjadi adalah perang mempertahankan
   hidup. Dalam agama, membunuh orang diperbolehkan demi mempertahankan
   hidup dan demi suatu keyakinan ideologis. Rakyat yang sedang
   menyatakan perang itu pun tidak mau dikait-kaitkan dengan isu Borneo
   Merdeka, juga dengan upaya membelokkan sebagai konflik antar-agama.
   
   Menurut Sabran Achmad dan Prof Usop, dua tokoh Dayak di Palangkaraya,
   yang berjuang berasal dari semua agama. Tujuan utamanya mempertahankan
   harkat dan martabat Dayak. Tak ada urusan dengan agama yang dianut.
   Martabat itu sudah dilecehkan sejak bertahun-tahun, juga oleh
   pemerintah pusat yang membodohi Dayak sambil membiarkan harta karun
   rakyat Dayak dikuras habis.
   
   Cerita tentang "pembodohan" pun mengalir, tidak hanya di Palangkaraya
   dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan), tetapi juga di Pontianak
   (Kalimantan Barat) yang masih belum selesai dengan dampak Kasus Sambas
   dua tahun lalu. Pola PIR perkebunan itu menipu rakyat, kata Stephanus
   Djueng dan John Bamba dari Institut Dayakologi Pontianak. Konflik yang
   meletus di Sanggau Ledo Sambas, mengingatkan kasus pertikaian etnis
   dua tahun lalu di Kalbar, adalah reperkusi dari arogansi, tidak
   sensitif dan aksi kekerasan yang dilakukan pemerintah.
   
                                    ***
                                      
   SIKAP cuek, tidak peduli pemerintah pun terlihat dari kebijakan
   pemerintah membiarkan para korban konflik itu merana di dalam Kota
   Pontianak, sampai sekarang. Dalam kota, di tempat-tempat terbuka dan
   tempat-tempat fasilitas umum seperti stadion, banyak tenda pengungsi
   Madura. Mereka dibiarkan, konon menunggu kembali ke Sambas, setelah
   dicapai kesepakatan dan suasana yang kondusif. Sebaliknya, keadaan ini
   pun dimanfaatkan oleh pengungsi untuk mendatangkan keluarga mereka
   dari Madura tinggal di sana. "Keadaan kota ini makin semrawut dan
   tidak aman," tambah Djueng.
   
   Cerita tentang relokasi di salah satu pulau yang juga diusulkan
   pemerintah dan disetujui masyarakat Dayak, hanya sebatas pernyataan.
   Tak ada relokasi, kecuali keputusan pengungsi akan dikembalikan ke
   tempat asal, tinggal dalam keluarga-keluarga di Banjarmasin atau
   Pontianak. Mereka konon akan dikembalikan ke tempat semula, sebab
   mereka pun memiliki tanah dan pekarangan, serta reruntuhan bekas rumah
   yang dibakar. Kapan? Tak ada jawaban tegas. Kecuali ada ketegasan
   masyarakat, dilakukan kalau sudah ada kesepakatan yang dirumuskan
   bersama dalam Kongres Kalimantan.
   
   Kongres Kalimantan itu sekarang giat dibicarakan dan disosialisasikan
   di kalangan masyarakat di Kalimantan. Mereka berharap, kongres rakyat
   sebagai mata rantai proses pemulihan (rekonsiliasi) di bumi
   Kalimantan. Kongres dilakukan berjenjang, mulai dari tingkat demang,
   tumenggung dan seterusnya, hingga provinsi sampai ke tingkat kongres
   raya se-Kalimantan.
   
   Karena persoalan pokok menyangkut hubungan etnis Dayak dan etnis
   Madura, perlu kesepakatan soal tempat dengan tokoh-tokoh masyarakat
   kedua pihak. Menjadi soal, siapakah yang akan menjamin keamanan
   tokoh-tokoh peserta etnis Madura? Mereka pun ingat bagaimana salah
   satu tokoh mereka, Prof Usop, diancam dengan pistol dalam Musyawarah
   Damai Anak Bangsa di Jakarta tanggal 20 Maret lalu. Peristiwa itu di
   Palangkaraya menjadi bahan perbincangan seru.
   
   Rinco Nurkim, salah satu peserta musyawarah, yakin kalau Prof Usop ada
   di dalam ruangan dia akan ditembak. "Kemarahan orang itu
   menyala-nyala," kata Wakil Ketua DPRD Kalteng itu. Pertemuan di
   Jakarta, menurut Rinco, sebenarnya awal yang baik di mana
   masing-masing etnis lewat wakil-wakil mereka sepakat menyelesaikan
   masalah secara konseptual, komprehensif dan integral, dilandasi itikad
   baik, bijaksana dan saling menghormati.
   
   Selama ini di Kalimantan Tengah sudah berlangsung dua kali kongres.
   Kongres pertama tahun 1956 yang menghasilkan Provinsi Kalimantan
   Tengah terpisah dari Kalimantan Selatan. Kongres kedua tahun 1998 yang
   menghasilkan kesepakatan rakyat Kalimantan agar seluruh pimpinan
   pemerintahan mulai dari kepala desa sampai gubernur berasal dari etnis
   Dayak. Kini dipersiapan kongres se-Kalimantan yang bisa dikatakan
   sebagai kongres ketiga. Kongres ini diharapkan menghasilkan
   kesepakatan masyarakat Dayak dengan suku-suku pendatang, yang dipicu
   oleh konflik antara Dayak dan etnis Madura.
   
   Dalam kongres itu, paling tidak ada kesepakatan kunci-sebenarnya sudah
   terjadi dalam beberapa kasus konflik sebelumnya, tetapi selalu
   dilanggar-kesediaan saling menghormati kebudayaan masing-masing. Sikap
   pendatang yang diharapkan adalah "di mana bumi dipijak di situ langit
   dijunjung". Sebaliknya, sikap etnis lokal adalah menerapkan prinsip
   setiap warga negara boleh tinggal di seluruh wilayah Republik
   Indonesia.
   
                                    ***
                                      
   MENGAPA dalam kasus Sampit konflik terjadi hanya antara Dayak dan
   Madura, sebaliknya dengan suku-suku lain terbina hidup rukun dan
   damai? Mengapa dalam setiap konflik, di kalangan masyarakat Dayak ada
   perasaan selalu sebagai pihaknya yang disalahkan? Dan mengapa
   kejahatan-kejahatan yang dilakukan warga suku Madura tidak diproses
   secara hukum?
   
   Jawaban yang serupa diperoleh di mana-mana. Mulai dari budaya
   kekerasan yang mereka sebut sebagai akar masalah hingga dugaan kolusi
   yang terjadi antara aparat penegak hukum dengan warga etnis Madura,
   terutama di Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur yang dihuni
   sekitar 160.000 jiwa dengan 60 persen di antaranya etnis Madura.
   
   Budaya kekerasan suku Madura lantas dianggap sebagai stereotip paling
   menonjol. Keramahtamahan suku Dayak disalahgunakan. Mereka meminta,
   hentikan pernyataan-pernyataan bahwa masyarakat Dayak itu bodoh,
   perambah hutan, suka menuntut, dan sebagainya. Mereka semakin
   bersemangat ketika di salah satu rumah etnis Madura di Sampit
   ditemukan dokumen rencana kegiatan. Dalam dokumen itu di antaranya
   termuat foto pasukan carok Gencar, rencana pembuatan bom, penumpukan
   senjata, dan perusakan sejumlah kota di Kalimantan Tengah yang menurut
   rencana dimulai akhir Desember 2000.
   
   "Dokumen aslinya tersimpan," kata Usop. Temuan itu tidak disampaikan
   lisan dalam pertemuan di Jakarta. Tetapi, yang tertulis dengan judul
   "Usul Penyelesaian Jalan Tengah Islah/Rekonsiliasi dari Masyarakat
   Daerah Kalimantan Tengah" sudah disampaikan ke Wakil Presiden.
   
   Bersikap netral, dari beberapa tokoh Madura yang dihubungi di
   Pontianak, ada cetusan tulus, minta maaf. Beberapa tokoh Madura di
   Jakarta merasa, dari apa yang terjadi di Kalimantan terutama
   belakangan ini di Kalimantan Tengah, tak perlu lagi mencari kambing
   hitam. Yang diperlukan adalah upaya cooling down yang harus diikuti
   dengan perubahan kebijakan mengurus Kalimantan. Upaya membangun negara
   bangsa Indonesia yang bersatu, dari kemajemukan menjadi satu, e
   pluribus unum, masih perlu disertai upaya keras agar noktah-noktah
   hitam dengan korban jiwa yang memilukan tidak terjadi lagi.
   
   Trauma yang dihadapi masyarakat Dayak, juga masyarakat pengungsi
   korban konflik jangan ditempatkan sebagai tumbal. Merekalah warga
   bangsa-negara ini yang berhak hidup dan tinggal di mana pun.
   Penghargaaan kearifan-kearifan lokal, ciri-ciri budaya lokal adalah
   kata kunci mengurus multikultural masyarakat majemuk Indonesia.
   Deklarasi Brasilia delapan tahun lalu itulah kunci pembuka menangani
   konflik. Tujuannya, agar tidak semakin banyak tumbal di Pangkalan Bun,
   apalagi meluas ke pulau lain.
   
   "Mencegah jauh lebih baik daripada menindak".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar