>Kamis, 12 April 2001
Konflik Antar-etnis Kalimantan
* Mencegah Lebih Baik daripada Menindak
Kompas/danu kusworo
[BUTTON]
"Kami masyarakat adat, berjalan ke masa depan dalam jejak langkah
leluhur kami, yang dihubungkan oleh daur kehidupan dengan tanah dan
lingkungan kami" (Deklarasi Karo Oca, Piagam Bumi oleh Masyarakat Adat
Sedunia, Brasilia, 25-30 Mei 1992).
DEKLARASI itu mengingatkan kita di saat mencoba memahami kasus konflik
antar-etnis di Kalimantan, khususnya kasus Sampit yang hingga hari ini
masih berlanjut di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Konflik laten
antar-etnis Dayak dan Madura menjadi konflik terbuka sejak kerusuhan
Sampit tanggal 17 Februari 2001, yang memilukan kita dengan jatuhnya
banyak korban manusia dan harta benda.
Sekarang ini, di tengah ancaman kerusuhan meledak di Pangkalan Bun,
pesan deklarasi menjadi aktual, mengingatkan rumusan klasik tentang
perlunya penghargaan realitas kearifan masyarakat lokal.
Pertemuan dengan sejumlah tokoh masyarakat di Palangkaraya,
Banjarmasin, dan Pontianak-24 Maret-1 April 2001, termasuk dengan
aktivis Institut Dayakologi (Pontianak) dan Lembaga Musyawarah
Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah (Palangkaraya) menambah
keyakinan kita bahwa tidak ada masyarakat apa pun yang steril terhadap
ciri-ciri negatif. Suku Dayak maupun Madura sama-sama memiliki
kelebihan dan kekurangan. Masing-masing memiliki kearifan sekaligus
sifat-sifat negatif.
Akan tetapi, dalam suasana "berada di ujung jurang" dan siap perang
(meminjam istilah sejumlah tokoh Dayak), pembelaan diri berarti
penonjolan ciri-ciri negatif etnis lain. Dalam kaitan kasus Sampit,
stereotip etnis Madura pun diungkit kembali, dibesar-besarkan oleh
pengamat sosial maupun birokrasi pemerintah.
Dalam pertemuan tokoh-tokoh Dayak di Palangkaraya, 24 Maret, misalnya,
tertangkap "kemarahan besar" masyarakat Dayak terhadap etnis Madura.
Mereka yang fanatik mengatakan, Madura tak boleh tinggal di Kalimantan
selamanya. Yang moderat mengatakan, saat ini orang Madura jangan masuk
dulu ke Kalimantan Tengah sampai ada kesepakatan bersama, misalnya
lewat sebuah Kongres Kalimantan.
Kemarahan itu terlihat dari beberapa peristiwa kecil. "Saat ini kalau
ada orang Madura terlihat di Palangkaraya, pasti kami buru ibarat
kucing," kata seorang pemuda. Baru satu dua hari tinggal di
Palangkaraya, pernyataan itu benar. Hari Rabu (28/3), setelah
ditemukan mayat tanpa kepala di pinggiran Kota Palangkaraya dengan
darah masih segar, merangsang sekitar 50 orang "turun perang". Mereka
yakin masih ada orang Madura. Untunglah tidak sampai tiga kilometer
masuk hutan, para "pemburu" itu bisa dibujuk balik oleh polisi,
walaupun mereka sempat menemukan bungkus supermi yang masih baru.
Dalam suasana demikian, ajaran-ajaran agama tak berlaku. Digambarkan
oleh beberapa rohaniwan dan ulama di sana-mulai dari uskup, pastor,
pendeta, dan ulama-apa yang terjadi adalah perang mempertahankan
hidup. Dalam agama, membunuh orang diperbolehkan demi mempertahankan
hidup dan demi suatu keyakinan ideologis. Rakyat yang sedang
menyatakan perang itu pun tidak mau dikait-kaitkan dengan isu Borneo
Merdeka, juga dengan upaya membelokkan sebagai konflik antar-agama.
Menurut Sabran Achmad dan Prof Usop, dua tokoh Dayak di Palangkaraya,
yang berjuang berasal dari semua agama. Tujuan utamanya mempertahankan
harkat dan martabat Dayak. Tak ada urusan dengan agama yang dianut.
Martabat itu sudah dilecehkan sejak bertahun-tahun, juga oleh
pemerintah pusat yang membodohi Dayak sambil membiarkan harta karun
rakyat Dayak dikuras habis.
Cerita tentang "pembodohan" pun mengalir, tidak hanya di Palangkaraya
dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan), tetapi juga di Pontianak
(Kalimantan Barat) yang masih belum selesai dengan dampak Kasus Sambas
dua tahun lalu. Pola PIR perkebunan itu menipu rakyat, kata Stephanus
Djueng dan John Bamba dari Institut Dayakologi Pontianak. Konflik yang
meletus di Sanggau Ledo Sambas, mengingatkan kasus pertikaian etnis
dua tahun lalu di Kalbar, adalah reperkusi dari arogansi, tidak
sensitif dan aksi kekerasan yang dilakukan pemerintah.
***
SIKAP cuek, tidak peduli pemerintah pun terlihat dari kebijakan
pemerintah membiarkan para korban konflik itu merana di dalam Kota
Pontianak, sampai sekarang. Dalam kota, di tempat-tempat terbuka dan
tempat-tempat fasilitas umum seperti stadion, banyak tenda pengungsi
Madura. Mereka dibiarkan, konon menunggu kembali ke Sambas, setelah
dicapai kesepakatan dan suasana yang kondusif. Sebaliknya, keadaan ini
pun dimanfaatkan oleh pengungsi untuk mendatangkan keluarga mereka
dari Madura tinggal di sana. "Keadaan kota ini makin semrawut dan
tidak aman," tambah Djueng.
Cerita tentang relokasi di salah satu pulau yang juga diusulkan
pemerintah dan disetujui masyarakat Dayak, hanya sebatas pernyataan.
Tak ada relokasi, kecuali keputusan pengungsi akan dikembalikan ke
tempat asal, tinggal dalam keluarga-keluarga di Banjarmasin atau
Pontianak. Mereka konon akan dikembalikan ke tempat semula, sebab
mereka pun memiliki tanah dan pekarangan, serta reruntuhan bekas rumah
yang dibakar. Kapan? Tak ada jawaban tegas. Kecuali ada ketegasan
masyarakat, dilakukan kalau sudah ada kesepakatan yang dirumuskan
bersama dalam Kongres Kalimantan.
Kongres Kalimantan itu sekarang giat dibicarakan dan disosialisasikan
di kalangan masyarakat di Kalimantan. Mereka berharap, kongres rakyat
sebagai mata rantai proses pemulihan (rekonsiliasi) di bumi
Kalimantan. Kongres dilakukan berjenjang, mulai dari tingkat demang,
tumenggung dan seterusnya, hingga provinsi sampai ke tingkat kongres
raya se-Kalimantan.
Karena persoalan pokok menyangkut hubungan etnis Dayak dan etnis
Madura, perlu kesepakatan soal tempat dengan tokoh-tokoh masyarakat
kedua pihak. Menjadi soal, siapakah yang akan menjamin keamanan
tokoh-tokoh peserta etnis Madura? Mereka pun ingat bagaimana salah
satu tokoh mereka, Prof Usop, diancam dengan pistol dalam Musyawarah
Damai Anak Bangsa di Jakarta tanggal 20 Maret lalu. Peristiwa itu di
Palangkaraya menjadi bahan perbincangan seru.
Rinco Nurkim, salah satu peserta musyawarah, yakin kalau Prof Usop ada
di dalam ruangan dia akan ditembak. "Kemarahan orang itu
menyala-nyala," kata Wakil Ketua DPRD Kalteng itu. Pertemuan di
Jakarta, menurut Rinco, sebenarnya awal yang baik di mana
masing-masing etnis lewat wakil-wakil mereka sepakat menyelesaikan
masalah secara konseptual, komprehensif dan integral, dilandasi itikad
baik, bijaksana dan saling menghormati.
Selama ini di Kalimantan Tengah sudah berlangsung dua kali kongres.
Kongres pertama tahun 1956 yang menghasilkan Provinsi Kalimantan
Tengah terpisah dari Kalimantan Selatan. Kongres kedua tahun 1998 yang
menghasilkan kesepakatan rakyat Kalimantan agar seluruh pimpinan
pemerintahan mulai dari kepala desa sampai gubernur berasal dari etnis
Dayak. Kini dipersiapan kongres se-Kalimantan yang bisa dikatakan
sebagai kongres ketiga. Kongres ini diharapkan menghasilkan
kesepakatan masyarakat Dayak dengan suku-suku pendatang, yang dipicu
oleh konflik antara Dayak dan etnis Madura.
Dalam kongres itu, paling tidak ada kesepakatan kunci-sebenarnya sudah
terjadi dalam beberapa kasus konflik sebelumnya, tetapi selalu
dilanggar-kesediaan saling menghormati kebudayaan masing-masing. Sikap
pendatang yang diharapkan adalah "di mana bumi dipijak di situ langit
dijunjung". Sebaliknya, sikap etnis lokal adalah menerapkan prinsip
setiap warga negara boleh tinggal di seluruh wilayah Republik
Indonesia.
***
MENGAPA dalam kasus Sampit konflik terjadi hanya antara Dayak dan
Madura, sebaliknya dengan suku-suku lain terbina hidup rukun dan
damai? Mengapa dalam setiap konflik, di kalangan masyarakat Dayak ada
perasaan selalu sebagai pihaknya yang disalahkan? Dan mengapa
kejahatan-kejahatan yang dilakukan warga suku Madura tidak diproses
secara hukum?
Jawaban yang serupa diperoleh di mana-mana. Mulai dari budaya
kekerasan yang mereka sebut sebagai akar masalah hingga dugaan kolusi
yang terjadi antara aparat penegak hukum dengan warga etnis Madura,
terutama di Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur yang dihuni
sekitar 160.000 jiwa dengan 60 persen di antaranya etnis Madura.
Budaya kekerasan suku Madura lantas dianggap sebagai stereotip paling
menonjol. Keramahtamahan suku Dayak disalahgunakan. Mereka meminta,
hentikan pernyataan-pernyataan bahwa masyarakat Dayak itu bodoh,
perambah hutan, suka menuntut, dan sebagainya. Mereka semakin
bersemangat ketika di salah satu rumah etnis Madura di Sampit
ditemukan dokumen rencana kegiatan. Dalam dokumen itu di antaranya
termuat foto pasukan carok Gencar, rencana pembuatan bom, penumpukan
senjata, dan perusakan sejumlah kota di Kalimantan Tengah yang menurut
rencana dimulai akhir Desember 2000.
"Dokumen aslinya tersimpan," kata Usop. Temuan itu tidak disampaikan
lisan dalam pertemuan di Jakarta. Tetapi, yang tertulis dengan judul
"Usul Penyelesaian Jalan Tengah Islah/Rekonsiliasi dari Masyarakat
Daerah Kalimantan Tengah" sudah disampaikan ke Wakil Presiden.
Bersikap netral, dari beberapa tokoh Madura yang dihubungi di
Pontianak, ada cetusan tulus, minta maaf. Beberapa tokoh Madura di
Jakarta merasa, dari apa yang terjadi di Kalimantan terutama
belakangan ini di Kalimantan Tengah, tak perlu lagi mencari kambing
hitam. Yang diperlukan adalah upaya cooling down yang harus diikuti
dengan perubahan kebijakan mengurus Kalimantan. Upaya membangun negara
bangsa Indonesia yang bersatu, dari kemajemukan menjadi satu, e
pluribus unum, masih perlu disertai upaya keras agar noktah-noktah
hitam dengan korban jiwa yang memilukan tidak terjadi lagi.
Trauma yang dihadapi masyarakat Dayak, juga masyarakat pengungsi
korban konflik jangan ditempatkan sebagai tumbal. Merekalah warga
bangsa-negara ini yang berhak hidup dan tinggal di mana pun.
Penghargaaan kearifan-kearifan lokal, ciri-ciri budaya lokal adalah
kata kunci mengurus multikultural masyarakat majemuk Indonesia.
Deklarasi Brasilia delapan tahun lalu itulah kunci pembuka menangani
konflik. Tujuannya, agar tidak semakin banyak tumbal di Pangkalan Bun,
apalagi meluas ke pulau lain.
"Mencegah jauh lebih baik daripada menindak".